Breaking News

As Suriah : Utang Minyak Di Bayar Bom

Berita heboh terkini. Sebelum membahas motif utama sebagai pokok topik artikel ini, sebaiknya menengok kembali surat Hugo Chaves, Presiden Venezuela kala itu kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dikutip oleh Lizzie Phelan, 2011. Ya. Suratnya dikirim di tengah-tengah bombardier NATO terhadap Libya dengan berbekal Resolusi PBB Nomor 1973 wacana Zona Larangan Terbang (No Fly Zone). Ia menulis: "Ada ancaman yang sangat serius terhadap perdamaian dunia. Sebuah seri gres perang kolonial yang dimulai di Libya dengan tujuan jahat untuk memulihkan sistem kapitalisme global".

Hasil diskusi terbatas di GFI, Jakarta, wacana esensi surat Chavez ke Majelis Umum PBB mirip dicuplik oleh Phelan, diperoleh dua pointres. Pertama, bahwa sistem dan ideologi kapitalis kini di ujung kebangkrutan; kedua, ada modus-modus gres dalam metode kolonial di muka bumi. Dan agaknya, kedua arahan tadi saling bertaut, berkait serta ada alasannya yakni dan akhir tak terpisah. Lalu, dimana letak keterkaitan kedua arahan dimaksud?



Sinyalemen Chaves bukannya mengada-ada. Betapa angin puting-beliung krisis ekonomi dan finansial mirip enggan berhenti menyapu negeri Paman Sam, selain ia sebagai titik inti serta awal krisis ekonomi global, termasuk negara-negara penyanggahnya. Efek domino tidak sanggup dielak terutama jajaran Uni Eropa (EU). Tidak hanya ekonomi dan finansial, aspek lain mirip sosial, politik, moral dan lainnya pun diterjang. Banyak penembakan-penembakan massal di daerah umum, bahkan di pangkalan Angkatan Laut di Washington yang nota bene merupakan ksatrian militer bisa terjadi penembakan-penembakan. Ada badai, topan, serta banjir yang tak kunjung reda melanda. Bank-bank dan tidak sedikit forum sejenisnya gulung tikar. Ya. Sekitar 90-an bank dinyatakan ambruk. Beberapa negara pecahan tampaknya mengambil perilaku hendak memisahkan diri. Bahkan sentra otomotif di AS sekelas Detroit pun kesudahannya colaps. Tak pelak, penganguran meningkat, unjuk rasa kian meraja lela menggugat kinerja kapitalis.

Perlu dicatat, substansi gerakan Occupy Wall Street, Occupy Melbern, dan gerakan sejenisnya yang sempat marak kemarin di banyak negara, pada dasarnya memprotes dominasi segelintir elit (1%) super kaya raya, sedang sisanya (99%) biasa-biasa bahkan banyak yang terlunta-lunta. Tata Dunia yang diawaki kapitalis sebagai ideologi unggulan pasca Perang Dingin, tampaknya tengah berdiri di ujung kehancuran.

Prof Dr Beat Bernet (21/11), pakar ekonomi Universitas Saint Gallen, Swiss, berani menyatakan bahwa dampak krisis finansial dan ekonomi EU yakni runtuhnya forum tersebut. Pasca krisis bank-bank dan forum finansial, pasti akan memunculkan krisis politik. Dan UE di masa mendatang tidak akan bertahan dalam bentuk yang kita kenal ketika ini (alias bubar). Hey, benarkah UE bakal bubar?

Ia menambahkan, hingga kini tidak ada indikasi akan ada pemulihan kondisi di Eropa bahkan hingga beberapa bulan mendatang. Indikasi yang ada justru menyampaikan sebaliknya. Menurutnya, aktivitas penghematan dan kenaikan pajak diperkirakan akan menyulut instabilitas sosial di negara-negara UE. Bahkan akan muncul kekuatan gres yang bakal mengubahnya. Sejak dibuat hingga kini, UE belum pernah menghadapi krisis separah dan seluas ketika ini. Krisis finansial dan ekonomi itu disebut kolam bola salju tak terbendung. Bukan hanya sekedar krisis nilai tukar euro saja, melainkan juga akar-akar krisis tersebut begitu dalam, termasuk di antaranya persoalan struktur, penurunan kekuatan bersaing dan melemahnya kekuatan finansial anggota UE.

Dosen ekonomi Eropa itu menekankan, kondisi ketika ini sangat berbahaya dan dimensinya lebih luas dari yang diumumkan secara resmi. Saya tidak yakin krisis ini sanggup diselesaikan dengan "payung penalang" atau dana-dana bantuan, kata Bernet. “Solusi yang dibicarakan hanya bisa menutupi permukaan persoalan saja, oleh lantaran dasar krisisnya sangat dalam. Negara-negara yang mengeluarkan dana evakuasi ekonomi hanya mengulur-ulur waktu. Pada hakikatnya, mata uang euro kini sudah hingga di ujung usianya”, terang Bernet. Pertanyaan timbul, bagaimana dengan negara inti dan awal (sumber) krisis dalam hal ini AS itu sendiri? Sedangkan imbas domino begitu mengerikan sebagaimana dipaparkan oleh Bernet.

Betapa ironi. Di tengah krisis multi dimensional tak kunjung usai, Paman Sam justru menyebar militernya di banyak sekali belahan dunia dengan aneka dalih. Ada paradoks skenario saling bertolak belakang. Di satu sisi, rakyat AS dan sekutu ingin segera ada langkah-langkah kasatmata perbaikan ekonomi dan penarikan seluruh pasukan, namun di sisi lain, para elit penguasa menebar teror melalui penyebaran pasukan di banyak sekali belahan dunia. Agaknya inilah arahan Chaves sesuai esensi suratnya ke PBB, bahwa AS dan sekutunya hendak memakai “seri baru” perang kolonial guna memulihkan sistem kapitalisme yang terseok-seok menuju kehancuran. Dan kalau merujuk surat Chaves, tampaknya seri gres perang kolonial tersebut telah dimulai di Libya. Apakah itu?



Utang Dibayar Bom!

Kembali pada pointers diskusi terbatas di GFI, pimpinan Hendrajit, sekurang-kurangnya telah diendus teladan atau metode (seri baru) penjajahan yang hendak ditebar oleh AS dan sekutu di muka bumi, dan salah satunya yakni modus ‘utang dibayar bom’. Ya. Utang dibayar bom! Maka merujuk suratnya Chaves wacana seri gres perang kolonial berpola ‘utang dibayar bom’ telah diawali oleh Barat ketika mereka menyerbu Libya. Inilah kronologis secara sederhana.

Tak bisa tidak. Keberanian Gaddafi mencetak uang emas/dinar disinyalir merupakan titik awal. Ia menyatakan bahwa sistem transaksi minyak Libya harus memakai dinar, bukan uang kertas (US Dollar) mirip biasanya. Hal tersebut menciptakan AS dan UE geram alasannya yakni mereka berutang lebih 200 miliar USD atas minyak Libya. Secara kasuistis, gempuran Barat terhadap Libya hampir mirip dengan serbuan militer AS dan sekutu ke Irak, oleh lantaran salah satu penyebabnya ---meski banyak penyebab lainnya--- diawali ketika Presiden Saddam Hussein menyatakan transaksi minyaknya harus memakai uero, bukan dolar AS lagi. Kebijakan (rencana) Saddam tadi menciptakan rezim Bush Jr murka besar dan berujung invasi militer oleh AS dan sekutu ke Negeri 1001 Malam dengan isue: ‘Saddam menyimpan senjata pemusnah massal’.

Stigma bergerak. Itulah modus lanjutan yang bisa dipotret dalam invasi ilegal dimaksud. Artinya ketika di lapangan tidak ditemukan senjata pemusnah massal (bahkan hingga kini tak terbukti), maka isue pun berubah ‘melawan pemimpin tirani’. Selanjutnya tatkala Saddam berhasil digantung oleh Bush Jr, maka stigma pun diubah lagi menjadi ‘menjaga stabilitas’, demikian seterusnya. Sekali lagi, itulah sekilas dongeng ‘stigma atau isue bergerak’ yang pernah dimainkan Barat ketika Saddam berkuasa, dimana hakiki stigma sejatinya hanya dalih dan pembenaran bagi pendudukan AS dan sekutu di Irak.

Kembali ke Libya. Selain daripada itu, bahwa konsesi para korporasi minyak milik Barat di Libya berakhir tahun 2012-an. Gaddafi menyampaikan bahwa kalau mereka tidak segera membayar utangnya dengan uang emas, maka konsesi gres akan diberikan kepada perusahaan-perusahaan minyak milik Rusia dan Cina (http://libyasos.blogspot.com/). Sudah barang tentu deadline itu menciptakan para pemilik korporasi minyak Barat kebakaran jenggot.

Sebagaimana uraian sekilas di atas, khusus dalam prinsip dasar geopolitik (Barat), apabila suatu negara dinilai tak lagi selaras dengan kepentingan nasionalnya (dan sekutu) maka pemerintah dimaksud mutlak harus diganti, dikudeta, dan lain-lain. Singkat cerita, terbitnya Resolusi PBB Nomor 1973 wacana No Fly Zone bagi Libya yang mandatnya turun ke NATO, sejatinya ialah penerapan modus kolonial gres bertitel “utang dibayar bom”!

Dugaan GFI, target metode ‘utang dibayar bom’ berikut pasca Libya diluluh-lantakan oleh NATO kemungkinan besar ialah Cina dan Jepang. Kenapa Jepang, bukankah ia sekutu bersahabat Paman Sam di Asia? Dalam politik, tak ada mitra dan lawan awet tetapi kepentingan sebagai ‘tuhan’. Kalau Cina sudah jelas, selain ia merupakan kompetitor inti dalam mengkonsumsi BBM (separuh) di pasar dunia, juga dalam beberapa asymmetric warfare bahu-membahu Cina lebih unggul daripada Paman Sam.

Simak utang AS kepada kedua negara tadi. Cina menguasai surat utang milik AS sebesar 1,107 triliun USD, meski September 2011 turun dibanding per Juli 2011 yang sebesar 1,173 triliun USD. Entah 2013 kini. Mungkin lebih berlipat lagi angkanya mengingat, selain ekonomi AS belum stabil, juga munculnya banyak sekali peristiwa yang tak kunjung usai menyapu kota-kota di Amerika. Sedang Jepang selain merupakan partner dagang terbesar, ia menguasai surat utang AS hingga mencapai 1,038 triliun USD (Detik.com, 02/02/2012, 08:35:56, Ini Dia Pemberi Utang Terbesar AS). Isue dan pemicunya diperkirakan sengketa Kepulauan Diaoyu/Senkaku antara Cina versus Jepang. Disinyalir AS akan kembali menerapkan metode “utang dibayar bom” mirip ia dan NATO membombardir Libya era 2011-an dulu. Sengketa kepulauan bakal dijadikan isue, pemicu sekaligus skenario utama dalam melancarkan seri gres penjajahan melalui taktik divide et impera. Adu domba negara-negara proxy.

Kembali lagi ke Syria. Hipotesa pun berkembang: apakah motif utama AS dan sekutu menyerang Syria guna menerapkan kembali modus utang dibayar bom mirip yang ia lakukan di Libya, atau (kemungkinan akan dilakukannya) terhadap Cina dan Jepang? Mari kita telaah hipotesa ini agak dalam.

Memang tak diketemukan data utang AS kepada Syria, demikian pula tidak ada utang Syria ke AS.  Sebagaimana utangnya terhadap Libya, Cina, Jepang, dan lain-lain.  Akan tetapi tagihan PBB pada AS ternyata cukup besar. Data 2010 menyebut, bahwa ia mempunyai utang sebesar 1,2 miliar USD (15 Oktober 2010 17:14 wib, Fajar Nugraha – Okezone). Tidak bisa dielak, angka itu setara dengan seperempat tunggakan iuran dari keseluruhan anggota PBB. Entah sekarang. Kemungkinan lebih membengkak mengingat sistem perekonomian Paman Sam belum pulih.  Pertanyaanya: siapa bisa ‘menekan’ superpower untuk segera melunasi utangnya kecuali PBB? Inilah perkiraan pembuka.

Sebagaimana dibahas pecahan terdahulu, Syria kini tengah merintis pembangunan pipa gas dari Irak dan Iran. Seandainya hal ini terwujud, maka Syria akan sangat kaya dan bahkan berpengaruh lantaran faktor fee atas geopolitic of pipeline dan geo-strategi posisi di Jalur Sutera. Hal yang sangat dikhawatirkan oleh Israel lantaran susukan pipa ke Mediterania mutlak harus melalui Syria, walau outlet pipanisasi yang menuju Afrika Utara ada di Isreal dan outlet ke Eropa berada di Turki (Ceyhean), tetapi Syria merupakan “titik simpul” dari semua pipanisasi minyak dan gas di Jalur Sutera. Sekali lagi, betapa dahsyatnya pemberdayaan geopolitik Syria oleh Presiden Bashar al Assad.

Pada mapping geopolitik di Jalur Sutera telah jelas, bahwa Israel dan Turki yang ketempatan outlet susukan pipa Iran-Irak-Syria sebagaimana penandatanganan nota di Bushehr, Iran, pada 25 Juni 2011 yakni sekutu bersahabat Paman Sam. Maka penggulingan rezim Assad yakni langkah pasti. Tak boleh tidak. Inilah beberapa kronologis acara.

Ketika Arab Spring sukses mengoyak Tunisia, Yaman dan Mesir tetapi gagal di Syria, kualitas isue pun ditingkatkan menjadi ‘perang sipil’ yang diawaki oposisi anti-Assad didukung oleh Barat (baca: Mencermati Pola Kolonialisme di Syria dan Mesir, www.theglobal-review). Sudah tentu bumbunya yakni sektarian sebagai citarasa terlezat bagi konflik-konflik di Timur Tengah.

Dalam perang sipil pun dimunculkan goro-goro supaya supaya terbit Resolusi PBB sebagaimana lazimnya di Libya, Irak, dan lain-lain. Pertama yakni tuduhan genosida (pelanggaran HAM) terhadap militer pemerintah Syria di Hawla. Isue inipun terbantah dan tak terbukti sehingga dalih humanitarian intervention PBB pun tak jadi ‘mendarat’ di Syria. Kedua, tuduhan penggunaan senjata kimia oleh militer Assad  yang hingga kini masih tarik ulur antara Rusia versus AS, meskipun Tim Pertama PBB dibawah pimpinan  Carla Del Ponte, anggota Komisi Independen untuk Penyelidikan di Syria sudah mengatakan: “Kami tidak menemukan bukti bahwa pasukan pemerintah Damaskus memakai senjata kimia terhadap milisi bersenjata” (Reuters, Senin 6/5/13). Silahkan dihitung, sudah berapa tahapan skenario dimulai dari Arab Spring hingga senjata kimia guna melengserkan rezim nakal ----di mata Barat--- mirip Bashar al Assad.

Kuat dugaan penulis, entah gagal atau bakal terealisasi serangan Barat ke Syria kelak, maka motif utamanya yakni utang dibayar bom sebagai metode pamungkas. Entah guna melunasi banyak sekali utang baik ke Cina, Jepang, maupun ke PBB, dan lainnya, inilah motif utama yang sanggup dibaca. Ya. Menguasai Syria menyerupai mengendalikan separuh Jalur Sutera, terutama kompensasi fee atas setiap pipanisasi disana. Teorinya ada: "Kapitalisme yang terjebak krisis kesudahannya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah usaha penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut" (Bung Karno, 1959). Mungkin inilah balasan atas surat Chaves dahulu. Itulah satu-satunya jalan!

Tidak ada komentar