Breaking News

Akankah Indonesia Bernasib Ibarat Ukraina ?

Indonesia sebagai cuilan integral dari banyak sekali elemen strategis bangsa, mutlak perlu menyimak dan mengkaji banyak sekali faktor dan dinamika politik yang berkembang, menyerupai kondisi di Ukraina.

Kedua, dengan menarik pesan yang tersirat dan pelajaran dari masalah Ukraina, khususnya dengan tumbangnya Presiden Viktor Yanukovich sebagai akhir dari konspirasi antara AS-Uni Eropa dan partai-partai oposisi di Ukraina, maka betapa pentingnya bagi suatu negara untuk memahami dan mengenali nilai strategis wilayah geopolitiknya. Sebab kalau tidak, lanjut Hendrajit, maka sejatinya kita sedang membuka pintu yang seluasnya kepada banyak sekali kepentingan asing, untuk membangun dan menanamkan lingkup pengaruhnya di bumi nusantara.



Pandangan Hendrajit dengan serta merta diperkuat oleh Dr Santos Winarso Dwiyogo, Kepala Divisi Hubungan Bilateral Hubungan Internasional Kantor Sekretariat Wapres RI, yang diundang secara khusus oleh GFI sebagai pembicara. Menurut Dr Santos, sebagai bukti betapa pentingnya sebuah negara memahami nilai strategis wilayah geopolitiknya, hal itu telah dibuktikan secara kasatmata oleh Rusia, dalam mengantisipasi campur tangan AS dan Uni Eropa dalam penggulingan Presiden Yanukovich.

“Kalau dulu teori-teori geopolitik yang  bertumpu pada McKinder, Alfred Mahan dan Nickolas Spike dimanfaatkan oleh Amerika dan Inggris untuk mengepung Rusia dan melemahkan Jerman yang ketika itu merupakan musuh dari AS dan Inggris, maka kini justru sebaliknya. Rusia lah yang justru memanfaatkan teori-teori geopolitik para pakar tersebut untuk memperkuat kepentingan strategis negara beruang merah tersebut.”

Dengan kata lain Dr Santos hendak menegaskan bahwa teori-teori geopolitik Mckinder dan Mahan yang menekankan betapa pentingnya menguasai Heartland (Timur Tengah dan Asia Tengah) supaya bisa menguasai dunia, kini Rusia telah menerapkan teori geopolitik tersebut untuk membendung imbas AS dan Uni Eropa di kedua daerah tersebut.

Kita lihat bagaimana Rusia dan Cina, semenjak 2001 lalu, menciptakan komplotan strategis Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang pada hakekatnya ditujukan untuk membendung imbas AS di daerah Asia Tengah.

Nampaknya, pentingnya membangun kesadaran dan wawasan geopolitik, gosip utama yang mencuat dalam lembaga diskusi tersebut. Entjeng Shobirin, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), bahkan memandang masalah Ukraina ini supaya menjadi materi pelajaran berharga bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia.

“Menurut saya dengan mengkaji dan mendalami masalah Ukraina, pemerintah dan banyak sekali elemen masyarakat Indonesia sudah saatnya menyadari betapa pentingnya memperjelas orientasi kebijakan politik luar negeri RI yang bebas dan aktif, sehingga kejelasan politik luar negeri yang bertumpu pada kesadaran dan wawasan geopolitik kita, pada perkembangannya akan memperjelas peta permasalahan yang dihadapi oleh kita sebagai bangsa baik kini maupun kelak,” begitu ungkap Shobirin.

Senada dengan GFI, Entjeng Shobirin secara khusus menaruh keprihatinan besar terhadap lemahnya kewaspadaan nasional dari beberapa institusi kenegaraan kita. Maka terkait dengan tema bahasan yang digelar oleh GFI, Shobirin menyarankan supaya dalam kajian-kajian GFI mendatang, untuk mengangkat sebuah tema yang cukup strategis: SKENARIO DISINTEGRASI NASIONAL.

Sementara, Dr Wirawan, anggota Komite Rusia di Kamar Dagang dan Industri (KADIN), menggarisbawahi tiga hal penting.

Pertama, bersepakat dengan pandangan pada lembaga diskusi bahwa kemampuan Rusia dalam menghadapi dan menyikapi perkembangan di Ukraina pasca kejatuhan Yanukovich dengan menggerakkan pasukannya ke Crimea, telah mempertunjukkan kepada dunia internasional betapa Rusia sangat memahami dan mengenali kekuatan wilayah geopolitiknya maupun tujuan-tujuan tersembunyi dari negara-negara rivalnya menyerupai AS dan Uni Eropa, untuk menguasai dan membangun lingkup pengaruhnya di Ukraina.

Keputusan Presiden Vladimir Putin untuk menguasai Crimea yang daerahnya berada dalam kedaulatan Ukraina, menunjukan kemampuan Rusia membaca dan mengenali nilai strategis wilayah geopolitik Crimea terkait kepentingan strategis Rusia dalam melawan skenario pengepungan AS dan Uni Eropa melalui Ukraina. Itulah sebabnya Skenario Revolusi Warna yang coba dimainkan dengan mendukung partai-partai oposisi menggulingkan Yanukovich, pada kesudahannya justru jadi titik balik bagi Amerika di Ukraina. Semula tampaknya akan menang, ternyata kesudahannya akan menuai kekalahan.

Kedua, Wirawan mendesak pemerintah Indonesia supaya menjalin korelasi yang lebih akrab dengan Rusia. Karena berdasarkan Wirawan, berdasarkan banyak sekali informasi yang ia serap ketika berkomunikasi dengan banyak sekali elemen strategis Rusia, ketika ini Rusia memandang Indonesia sebagai negara sahabat. Bahkan setingkat lebih tinggi dari sekadar sahabat. Kaprikornus berdasarkan Wirawan, yang ketika ini juga aktif sebagai salah satu pengurus Persatuan Putra-Putri Purnawirawan Angkatan Udara (P3AU), inilah momentum bagi Indonesia dan Rusia untuk menjalin korelasi yang semakin akrab di semua bidang.

Aspek ketiga yang digulirkan oleh Wirawan yaitu soal Papua. Belajar dari masalah Ukraina, pemerintah Indonesia sebaiknya memperhatikan betula soal Papua. Karena gerakan untuk meng-internasionalisasi Papua di forum-forum internasional, semakin gencar dilakukan.

Pentingnya Indonesia meragukan perkembangan di Papua, juga didukung oleh Entjeng Shobirin. Karena berdasarkan Entjeng, Gerakan Papua Raya yang semakin gencar dikumandangkan oleh elemen-elemen OPM (Organisasi Papua Merdeka), pada perkembangannya bisa menginspirasi Gerakan Separatis Dayak di Kalimantan Barat.

Tidak ada komentar